Selama ini kita melakukan upaya menjaga stabilitas dengan intervensi pasar. Tapi, tampak dengan kenaikan yield AS yang cepat, strong dollar yang cepat, kita harus menambah amunisi yaitu dengan menaikkan suku bunga. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung mengatakan kebijakan suku bunga tinggi dalam jangka waktu panjang atau “higher for longer” diperlukan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dalam negeri di tengah gejolak perekonomian di tingkat global.
Di tengah belum berakhirnya krisis akibat perang Ukraina dan Rusia, ia mengatakan saat ini dunia dihadapkan pada konflik di Timur Tengah antara Hamas dan Israel, yang memberikan ancaman kenaikan harga pangan dan energi, dan akan menyebabkan kenaikan inflasi di tingkat global.
“Ini harus direspons dengan kebijakan moneter yang mendorong tetap tingginya suku bunga di global” higher for longer,” ujar Juda dalam peluncuran Buku Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) No.41 di Jakarta, Senin.
Tidak hanya itu, lanjutnya, Amerika Serikat (AS) saat ini memerlukan berbagai macam pendanaan untuk “membackup” perang yang terjadi di Rusia maupun Timur Tengah, sehingga mendorong pembiayaan politik dan keamanan negara tersebut, yang akan mendorong kenaikan yield suku bunga mereka.
“Dalam satu dua bulan terakhir, volatilitas arus modal sangat tinggi, dan dampaknya kepada pelemahan kurs secara global. Karena yield AS meningkat, terjadi strong dollar, sehingga mata uang negara lain volatilitasnya tinggi,” ujar Juda.
Dengan berbagai latar belakang itu, Juda mengungkapkan BI akhirnya menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DDR) sebesar 25 basis poin ke level 6 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 18-19 Oktober 2023 pekan lalu.
“Selama ini kita melakukan upaya menjaga stabilitas dengan intervensi pasar. Tapi, tampak dengan kenaikan yield AS yang cepat, strong dollar yang cepat, kita harus menambah amunisi yaitu dengan menaikkan suku bunga,” ujar Juda.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan kenaikan suku bunga acuan BI untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari dampak meningkatnya ketidakpastian global.
Selain itu, sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk memitigasi dampaknya terhadap imported inflation, sehingga inflasi akan tetap dalam sasaran tiga plus minus satu persen pada sisa tahun ini dan 2,5 plus minus satu persen pada 2024.