Bank Indonesia (BI) menguatkan kebijakan untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global. Gubernur BI, Perry Warjiyo, menyatakan bahwa kebijakan moneter diarahkan untuk menjaga stabilitas keuangan nasional. Sementara itu, kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pengembangan pasar uang dan valas, serta inklusi keuangan dan hijau, tetap didorong untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Perry menjelaskan bahwa kenaikan suku bunga BI atau BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) hingga 6 persen dilakukan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari tekanan global serta mencegah dampak terhadap inflasi barang impor. Kebijakan suku bunga ini didukung oleh penguatan stabilisasi nilai rupiah melalui intervensi di pasar valuta asing, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Selain itu, strategi operasi moneter juga dikuatkan untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk melalui optimalisasi Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), penerbitan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI) sebagai instrumen moneter yang mendukung pendalaman pasar keuangan dan peningkatan aliran modal asing.
Koordinasi dengan pemerintah, perbankan, dan dunia usaha juga diperkuat untuk implementasi penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023.
Bank Indonesia juga berkoordinasi dengan pemerintah dalam mengendalikan inflasi melalui Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), serta dengan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah.
Inflasi tahunan Indonesia saat ini mencapai 2,56 persen dan masih terkendali dalam sasaran. Bank Indonesia menetapkan target inflasi sebesar 3 persen plus-minus 1 persen untuk sisa tahun 2023, dan 2,5 persen plus-minus 1 persen untuk tahun 2024.
Artikel ini dapat dibaca secara lengkap di sini.