Direktur Utama Citi Indonesia Batara Sianturi mengatakan bahwa perusahaan akan selalu mengupayakan pembiayaan hijau guna mendorong transisi energi. “Di Citi, kami terus menggunakan keahlian kami untuk mendukung klien dalam mengatasi tantangan global dan berkontribusi pada upaya transisi energi,” kata Batara melalui keterangan resmi di Jakarta, Senin. Dalam laporannya yang bertajuk “Unlocking Climate and Development Finance”, Citi mengkaji langkah-langkah untuk meningkatkan pendanaan ke berbagai wilayah geografis, industri, dan sejumlah proyek. Laporan tersebut menyoroti bagaimana perbedaan selera risiko modal dan profil risiko proyek menjadi salah satu penyebab minimnya mobilisasi pendanaan untuk proyek-proyek terkait perubahan iklim. Meskipun fasilitas aliran modal sudah dipahami dengan baik, namun dibutuhkan lebih banyak proyek yang dapat dibiayai dan dapat diinvestasikan guna mendukung upaya penanganan perubahan iklim. Dalam laporan tersebut, dalam beberapa dekade terakhir kemajuan luar biasa telah dicapai dalam menangani perubahan iklim. Pada tahun 2015, 196 negara sepakat mengadopsi Paris Agreement dalam pertemuan COP15 yang menghasilkan perjanjian untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celcius. Kemudian pada pertemuan COP26 tahun 2021, para pemimpin dunia berkumpul untuk merancang agenda global dan kerangka kerja menuju nol emisi karbon (net-zero emission). Tantangan berikutnya yakni mencari cara untuk mendanai tindakan global terkait perubahan iklim. Disebutkan dalam rentang tahun 2016-2020, berbagai proyek terkait perubahan iklim berhasil menggerakkan antara 600 miliar dolar AS hingga 900 miliar dolar AS rata-rata per tahun. Namun, untuk mencapai skenario nol emisi karbon pada tahun 2050, diperlukan sekitar 125 triliun dolar AS dalam 30 tahun ke depan. “Meskipun aliran pendanaan global meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2022 menjadi 1,4 triliun dolar AS, namun perkiraan kesenjangan pendanaan iklim tahunan antara tahun 2030 dan 2050 hampir tujuh kali lipat dari aliran dana tahun 2022,” tulis laporan itu. Adapun investasi atau pendanaan dalam transisi energi saat ini pada pasar negara-negara maju dilakukan melalui pembiayaan modal swasta, sedangkan di pasar negara berkembang melalui sektor publik dan organisasi supranasional. Sebab, dalam beberapa dekade mendatang, sebagian besar pendanaan iklim akan disalurkan di negara-negara berkembang untuk mencapai tujuan iklim global yang sudah ditetapkan. Kawasan Asia Timur dan Pasifik misalnya, tercatat menerima 47 persen dari keseluruhan aliran pendanaan iklim pada tahun 2022 dan Eropa Barat menerima 24 persen lagi. Sementara, Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah, serta Afrika Utara wilayah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dilaporkan hanya menerima 2 persen dan 1 persen dari keseluruhan aliran pendanaan. Pewarta: Bayu Saputra Editor: Kelik Dewanto Copyright © ANTARA 2023
Peningkatan Pembiayaan Hijau: Citi Membahas Upayanya
Read Also
Recommendation for You
Blok ekonomi BRICS yang baru saja menyelenggarakan pertemuan puncak ke-16 di Kazan, Rusia, pada 22-24…
Pemerintah terus meningkatkan kualitas desa wisata di Indonesia, dengan salah satunya adalah bantuan Dukungan ……
Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) Juhaidy RIzaldy Roringkon menyatakan bahwa pembentukan Badan…
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan OJK terus berupaya…
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Utara melaporkan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Utara pada triwulan kedua…