Article Rewrite:
Sebagian besar pemimpin yang kuat memiliki rasa idealisme yang mereka pegang teguh. Ini yang diamati dan dihormati oleh Saad El-Shazly, seorang tokoh Mesir yang terampil dalam memimpin pasukan dan memiliki idealisme yang kuat. Ketegasannya memunculkan perselisihan dengan pemerintah Mesir, namun hal ini juga membuatnya dihormati oleh orang-orang Mesir.
Saad El-Shazly lahir pada tahun 1922 di Kairo, Mesir. Dia adalah seorang perwira dan pemimpin pasukan elite Mesir dalam Perang Arab-Israel. Dia juga merupakan salah satu pendiri batalion udara Mesir dan menjadi komandan pertamanya pada tahun 1954.
Shazly terkenal karena keahliannya dalam memimpin pasukan. Ia menjadi pemimpin unit yang efektif melawan Israel dalam Perang Enam Hari Arab-Israel. Pasukannya berhasil menahan serangan musuh dan hampir seluruhnya kembali utuh melintasi Terusan Suez. Setelah perang tersebut, Shazly menjadi Kepala Staf Angkatan Darat Mesir. Dia dipercaya untuk membangun kembali kekuatan tentara Mesir dan merencanakan serangan ambisius untuk merebut kembali Semenanjung Sinai dari Israel.
Setelah Perang Yom Kippur pada Oktober 1973, Shazly menulis buku berjudul The Crossing of the Suez. Di buku ini, ia memperlihatkan ketelitian perencanaan pergerakan pasukan dan perhatiannya terhadap detail. Buku ini sangat direkomendasikan sebagai bacaan wajib di Akademi Militer Indonesia.
Namun, kesuksesan komandan lapangan membuat elite politik khawatir. Setelah perang tersebut, Shazly berselisih dengan Presiden Anwar Al Sadat dan akhirnya ditugaskan sebagai Duta Besar di Portugal.
Meskipun tidak populer dalam kepemimpinan politik, Shazly dianggap sebagai legenda hidup bagi mayoritas rakyat Mesir. Ketika meninggal pada Februari 2016, hampir satu juta orang di Tahrir Square berkumpul untuk mendoakan sang Jenderal tercinta.
Saad El-Shazly dikenang di Mesir sebagai “Sang Jenderal Emas” dan karier serta karyanya, The Crossing of the Suez, sangat direkomendasikan bagi calon pimpinan militer.