Kualitas pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah, terutama dibuktikan dari skor rendah anak-anak Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) yang mengukur kemampuan literasi, numerasi, dan sains. Selama dua dekade terakhir, skor PISA Indonesia tetap jauh di bawah rata-rata negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Menurut analisis Bank Dunia (2018), 55 persen anak usia sekolah di Indonesia tidak mampu membaca dengan baik – atau dalam istilah lain, mereka functionally illiterate. Tanpa ada perubahan signifikan dalam pengelolaan gizi dan pendidikan, Indonesia akan membutuhkan waktu 200 tahun untuk mengejar ketertinggalan skor PISA dari rata-rata negara-negara anggota OECD.
Sebanyak 41 persen anak usia sekolah di Indonesia berangkat sekolah dalam keadaan lapar, yang dapat sangat mempengaruhi prestasi anak-anak di sekolah. Masih banyak anak di Indonesia yang berangkat sekolah dengan perut kosong.
Berdasarkan data Riskesdas Kemenkes RI, Menko PMK Muhadjir Effendy mengungkapkan bahwa 41 persen anak usia sekolah dan remaja di Indonesia tidak pernah sarapan. Ia juga mengungkapkan bahwa sebanyak 58 persen anak usia sekolah memiliki pola makan yang tidak sehat.
Salah satu program yang diusulkan oleh salah satu calon Presiden RI adalah program makan gratis di sekolah dan bantuan gizi untuk ibu hamil melalui PAUD serta Posyandu. Program ini diharapkan dapat membantu Indonesia memanfaatkan bonus demografi dan mengatasi masalah tengkes (stunting) yang masih menjadi masalah besar di Indonesia.
Meskipun anggaran untuk memberikan makan siang gratis di sekolah cukup besar, hal tersebut seharusnya tersedia. Menurut Indonesia Food Security Review (IFSR), ratusan negara lain mampu membiayai program makan siang gratis dari APBN mereka. Saat ini, rasio belanja pemerintah Indonesia terhadap PDB adalah yang terendah di antara negara-negara anggota G20.
Jika rasio belanja pemerintah Indonesia terhadap PDB setara dengan Turki (28 persen), maka APBN pada tahun 2024 seharusnya mencapai Rp 6.380 triliun atau naik hampir dua kali lipat. Berdasarkan kalkulasi IFSR, implementasi program makan siang di sekolah memerlukan anggaran sekitar 30 miliar dollar AS.
Untuk membiayai program-program pembangunan dan pemerataan, Pemerintah perlu meningkatkan rasio pendapatan negara hingga 23 persen dari PDB. Beberapa langkah peningkatan penerimaan negara untuk mencapai target tersebut masih sangat mungkin, salah satunya adalah dengan melakukan digitalisasi pajak menggunakan big data dan AI.
Sebagai tambahan, pemanfaatan pajak ekspor juga dapat meningkatkan penerimaan negara. Program ini juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 3 persen, menciptakan setidaknya 1,8 juta lapangan kerja permanen baru, dan memberikan manfaat ekonomi yang besar.
Dengan banyak manfaatnya, program makan siang gratis di sekolah layak untuk diperjuangkan. Manfaat ekonominya sangat besar dan manfaatnya dapat dirasakan hingga generasi berikutnya. Pergi ke sekolah harus membuat pikiran dan perut kenyang. Sumber: prabowosubianto.com