Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan akan mengajukan judicial review terkait ketetapan pajak hiburan yang kini memiliki kisaran 40-75 persen.
Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi dan Keanggotaan Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI Yuno Abeta Lahay mengatakan pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) ini, karena banyak tempat hiburan yang melekat pada hotel dan restoran.
“Kami sedang melakukan langkah hukum judicial review dan dalam waktu dekat diajukan meski beberapa daerah telah mengeluarkan perda, dan kemarin telah ada diskusi dengan Kemenparekraf, tapi ini kami rasa kurang tepat, harusnya dilibatkan juga Kemenkeu dan Kemendagri,” kata Yuno, di Bandung, Jawa Barat (Jabar), Rabu.
Adapun isi judicial review tersebut, kata Yuno, berbeda dengan gugatan yang dilayangkan Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI), dengan PHRI meminta pasal yang menetapkan besaran pajak 40 sampai 75 persen dihapuskan.
“Karena pasal sebelumnya sudah ada yaitu 10 persen, jadi kami minta dikembalikan ke sana saja,” ujarnya pula.
Yuno mengatakan dengan besaran tarif pajak minimal 40 persen dan maksimal 75 persen untuk hiburan khusus yang tergolong sebagai objek Pajak Barang Jasa Tertentu (PBJT) dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) itu, telah memunculkan kekhawatiran dari para pelaku usaha, termasuk di Jawa Barat, mengingat sektor hiburan merupakan penunjang pariwisata.
“Industri hiburan adalah kolaborasi. Hiburan dan kawan-kawannya itu kan penunjang pariwisata, kekhawatiran ini mulai terasa, Mbak Inul (Daratista) sudah menyampaikan kunjungan sudah dirasa turun. Kami memang dari seluruh stakeholder pariwisata menganggap ada satu bagian bahwa entertainment lifestyle di situ, terhambat dan itu otomatis mengganggu keseluruhan bisnis pariwisata,” katanya pula.
Saat ini, kata dia lagi, di Jabar baru ada satu daerah yang sudah menetapkan tarif pajak hiburan 50 persen.
“Sejauh ini yang saya tahu, Kabupaten Bogor sudah menetapkan 50 persen. Kami dari PHRI sudah mulai mengumpulkan data, cuma yang baru kami dapat itu Kabupaten Bogor ditetapkan 50 persen,” katanya lagi.
PHRI juga, kata Yuno, memberikan dorongan pada pemerintah daerah, termasuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dalam Rakerda PHRI Jabar agar lebih peduli terhadap hal tersebut, meski pemerintah daerah memiliki keterbatasan karena mereka merupakan pelaksana undang-undang.
“Kami paham pemprov punya keterbatasan karena ini amanat undang-undang dan musti dieksekusi, jadi kami paham tapi saya yakin dengan mengutip ucapan Menteri Parekraf semalam bahwa pemerintah tidak akan tinggal diam dan kami percaya akan hal itu,” ujarnya.
Sebelumnya, Penjabat (Pj) Gubernur Jabar Bey Triadi Machmudin meminta kabupaten dan kota di Jabar untuk melakukan persiapan soal kenaikan pajak hiburan yang ditetapkan bagi penyedia jasa hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen.
Menurut Bey, ketetapan pajak baru bagi sektor hiburan itu, merupakan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyesuaikan dengan kebijakan yang diambil tersebut.
“Itu kewenangan pusat. Untuk daerah, kota/kabupaten, menyesuaikan saja. Tentunya kami berharap kota/kabupaten sudah ada perhitungan terkait kebijakan tersebut,” kata Bey, di Gedung Sate Bandung, Selasa (16/1).
ANTARA mencatat, pajak hiburan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Diketahui, pajak hiburan menjadi salah satu penopang penerimaan pajak di daerah.
Dalam konferensi pers APBN KiTa, di Jakarta, Jumat (15/12/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pajak daerah tumbuh terutama didorong oleh peningkatan realisasi pajak dari sektor ekonomi yang bersifat konsumtif seperti pajak hotel, hiburan, restoran, dan parkir.
Adapun penerimaan pajak daerah hingga November 2023 tercatat sebesar Rp212,26 triliun atau tumbuh 3,8 persen secara tahunan dari sebelumnya Rp204,51 triliun.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024