Berita terkini, update prabowo subianto yang humanis, berani dan tegas
Berita  

Mengurangi “backlog” dengan Mempermudah Akses Rumah

Mengurangi “backlog” dengan Mempermudah Akses Rumah

“Rumahku istanaku”. Ungkapan klasik ini menegaskan betapa bernilai rumah bagi setiap orang atau keluarga. Apa pun bentuknya dan berapa pun harganya, rumah merupakan istana yang nyaman untuk berteduh bagi raga maupun jiwa penghuninya.

Oleh karena itu kepemilikan rumah begitu penting bagi individu ataupun keluarga. Rumah juga sebagai tempat untuk berlindung, berbagi kasih sayang, hingga menyiapkan segalanya sebelum memulai aktivitas kehidupan sehari- hari.

Di Indonesia, angka backlog kepemilikan rumah masih cukup tinggi, yakni sebanyak 9,9 juta unit pada 2023 meskipun sudah turun dibandingkan sebelumnya sebanyak 12,75 juta unit pada tahun 2020, catat Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS). Backlog merujuk pada jumlah perumahan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan hunian yang belum terpenuhi.

Jumlah rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap hunian layak juga masih cukup tinggi, yakni sebanyak 26,9 juta rumah tangga pada 2023, meskipun sudah turun dari sebelumnya sebanyak 29,4 juta pada 2020.

Demi konsistensi penurunan backlog, Pemerintah tidak diam, namun merilis berbagai stimulus, mulai dari kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk rumah harga maksimal Rp5 miliar, serta insentif biaya administrasi pengurusan rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) senilai Rp4 juta.

Ada juga pelonggaran rasio LTV/FTV kredit/ pembiayaan properti menjadi maksimal 100 persen untuk semua jenis properti, serta masih adanya kredit pemilikan rumah (KPR) subsidi dan lainnya.

Seiring berbagai stimulus itu, penjualan rumah pun diproyeksikan tumbuh mencapai 12 persen year on year (yoy) pada tahun ini, ucap Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) Nixon LP Napitupulu.

“Stimulus-stimulus ini yang menyebabkan pertumbuhan penjualan rumah pada tahun ini kita harapkan mencapai 12 persen,” ujar Nixon.

Nixon menyebut stimulus yang diberikan pemerintah telah dijalankan dengan baik, yang menjadikan properti masih menjadi sektor yang memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional.

Paling baru, Ia menyebut pengembangan sektor perumahan akan menjadi mesin penggerak pertumbuhan ekonomi nasional dan berdampak terhadap 173 sektor turunan.

Dalam catatannya, terdapat 12,7 juta keluarga di Indonesia yang belum memiliki rumah, sementara pihak pengembang hanya mampu membangun 600 ribu sampai 800 ribu rumah per tahun.

Adapun segmen rumah sederhana dan sangat sederhana diproyeksikan memiliki potensi paling besar untuk dikembangkan, dengan proyeksi dapat tumbuh mencapai dua digit pada 2024.

“Kami sampaikan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menjadikan perumahan salah satu motor untuk mendorong pertumbuhan dengan fokus membantu penduduk yang belum punya rumah. Upaya ini akan berdampak pada 173 sektor turunan,” ujar Nixon.

Namun, di tengah optimisme pertumbuhan itu tetap harus diiringi kewaspadaan karena masih ada bayang- bayang ancaman krisis global akibat tensi geopolitik antara Ukraina dan Rusia ataupun kondisi suram geopolitik di Timur Tengah.

Gejolak itu bisa menimbulkan lonjakan harga komoditas, baik energi maupun pangan yang dapat merembet ke ekonomi di tanah air, ditambah adanya ancaman pelemahan perekonomian China terkhusus sektor properti.

Sementara itu, dari dalam negeri, adanya pelaksanaan pemilu membuat sebagian investor cenderung berperilaku wait and see dalam melakukan ekspansi usaha.

Inovasi pembiayaan

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan (DJPI) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sedang mengkaji untuk menelurkan skema KPR dengan jangka waktu (tenor kredit) sampai 35 tahun.

Rancangan ini akan mendongkrak sisi permintaan (demand) pembiayaan rumah di tanah air seiring dengan rendahnya cicilan skema tersebut, ujar Chief Economist Bank BTN Winang Budoyo yang menyambut positif hadirnya skema ini.

Dari sisi pembiayaan, menurut Winang, skema ini perlu didukung dengan program yang menunjang kemampuan perbankan untuk menyalurkan pembiayaan.

“Kami melihat opsi suku bunga berjenjang akan menguntungkan bagi pihak nasabah dan bank. Karena secara historis, kemampuan nasabah cenderung akan naik seiring berjalannya waktu,” ujar Winang.

Skema suku bunga berjenjang setelah melewati periode tertentu dapat dinaikkan secara bertahap, misalnya, dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun.

“Secara historis, kami melihat bahwa dalam jangka waktu 10 tahun, kondisi perekonomian nasabah KPR sudah meningkat dibandingkan pada saat pertama kali mengambil KPR,” ujar Winang.

Muaranya, rencana skema KPR 35 tahun adalah upaya Pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait secara bertahap menuju zero Bmbacklog tahun 2045.