Oleh: Prabowo Subianto, diambil dari buku “Paradoks Indonesia dan Solusinya”
Meningkatkan Ekonomi Melalui Konstitusi
Jika Anda pernah mempelajari ilmu ekonomi, Anda pasti sudah mengetahui bahwa ada berbagai aliran ekonomi di dunia. Ada aliran neoklasikal, pasar bebas, dan neoliberal yang sering dikaitkan dengan pemikiran Adam Smith. Di sisi lain, ada pula aliran sosialis atau ekonomi Karl Marx. Dalam sejarah, pernah terjadi perdebatan mengenai pilihan model ekonomi yang harus diambil oleh negara-negara. Namun, menurut saya, mengapa kita harus memilih salah satu? Mengapa tidak mengambil yang terbaik dari kapitalisme dan sosialisme?
Gabungan terbaik dari kedua aliran inilah yang disebut oleh tokoh-tokoh seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, dan ayah saya Prof. Sumitro sebagai ekonomi kerakyatan, atau ekonomi Pancasila yang telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada Pasal 33. Bisa juga disebut sebagai “ekonomi konstitusi”.
Setelah tahun 1998, saya berpendapat bahwa sebagai bangsa, kita telah tersesat. Kita meninggalkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta prinsip ekonomi Pancasila. Inilah alasan di balik perjuangan saya selama belasan tahun terakhir: untuk mengingatkan, membangkitkan kesadaran akan ajaran-ajaran Bung Karno dan yang lainnya, agar kita kembali pada akar tradisi kita yang kehilangan arah. Nasionalisme bukanlah sesuatu yang buruk. Nasionalisme adalah cinta akan bangsa sendiri. Kita harus memiliki kekuatan sendiri, tidak bergantung pada belas kasihan bangsa lain.
Setelah tahun 1998, kita telah mengalami kesalahan. Kita harus kembali pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan mewujudkan ekonomi konstitusi. Kita harus memiliki kemandirian dalam produksi barang dan jasa di dalam negeri agar kompleksitas ekonomi kita meningkat, dan Rupiah kita menjadi lebih kuat. Hal ini sesuai dengan indeks kompleksitas ekonomi yang dirumuskan oleh Professor Ricardo Hausmann dari Harvard University.
Tujuan kita seharusnya adalah mewujudkan ekonomi konstitusi, bukan sosialisme murni. Sosialisme murni, meskipun bagus dalam teori, tidak dapat dijalankan dalam praktiknya. Sebaliknya, ekonomi campuran yang menggabungkan yang terbaik dari kapitalisme dan sosialisme, seperti yang diajarkan oleh Bung Karno dan yang lainnya, adalah pilihan yang tepat. Konsep ini memungkinkan adanya kesetaraan, namun tetap mendorong kerja keras dan inovasi.
Pemerintah harus menjadi pelopor dalam mewujudkan ekonomi konstitusi. Dalam hal pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah harus proaktif dan tidak hanya berperan sebagai wasit. Model ekonomi neoliberal yang menekankan minimnya peran pemerintah bukanlah solusi bagi negara seperti Indonesia yang masih dalam proses pembangunan.
Paham ekonomi konstitusi menekankan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat. Dengan menjalankan prinsip-prinsip ini, saya yakin Indonesia dapat mencapai kemakmuran yang berkelanjutan dan membangun negeri ini dengan kuat. Sudah saatnya kita meninggalkan model-model ekonomi yang tidak sesuai dengan karakter dan kebutuhan bangsa kita, dan kembali pada akar tradisi ekonomi Pancasila yang telah digariskan oleh para pendiri bangsa kita.