Pemerintah saat ini juga perlu mempersiapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun depan, yang praktiknya bakal dijalankan oleh pemerintahan selanjutnya. Berlangsungnya ketahanan suatu negara salah satunya ditentukan oleh kebijakan fiskal. Anggaran negara yang sehat dengan pengelolaan yang bijaksana menjadi penentu kemampuan suatu negara dalam mempertahankan kedaulatannya.
Tak terkecuali Indonesia. Republik ini perlu memastikan pengelolaan instrumen fiskal, dalam hal ini APBN, dikelola secara akuntabel agar keberlangsungan negara dapat terjaga dengan baik.
Kesadaran itu telah diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Beberapa waktu lalu, saat Rapat Kerja Kementerian Perdagangan, Februari lalu, dia menegaskan APBN harus dikelola secara akuntabel. Pasalnya, APBN merupakan instrumen yang menjadi penyokong negara dalam menghadapi gejolak ekonomi sekaligus untuk mencapai tujuan negara.
APBN mulanya merupakan warisan kolonial yang disusun berdasarkan Indische Comptablitetiswet (ICW), yang kemudian dipatenkan melalui Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 setelah Indonesia merdeka. Penyusunan APBN dilakukan oleh perhitungan anggaran oleh Pemerintah lalu diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), praktik yang masih berlaku hingga sekarang.
Namun, dalam jejak historis, penyusunan APBN mengalami berbagai dinamika. Fiskal negara pada era Soekarno kerap mengalami defisit karena pengeluaran besar-besaran untuk bidang militer demi mempertahankan kemerdekaan, yang berlanjut terciptanya inflasi tinggi usai Pemerintah memutuskan mencetak uang untuk membiayai pengeluaran.
Tak kunjung membaik, Soekarno membubarkan DPR pada akhir 1950-an usai APBN yang diajukannya ditolak. Dia juga mengeluarkan Perppu Nomor 6 Tahun 1960 untuk menetapkan APBN dan memecah posisi Menteri Keuangan menjadi beberapa jabatan menteri.
APBN kemudian bergerak pada arah baru di bawah pengelolaan Menteri Keuangan Ali Wardhana pada era Orde Baru. Kebijakan fiskal dirancang untuk berimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Susunan Kementerian Keuangan pada era itu, atau disebut sebagai Departemen Keuangan, terus mengalami perubahan.
Inflasi berhasil ditekan, namun utang makin membengkak karena penerimaan negara kebanyakan bersumber dari utang luar negeri.
Instrumen fiskal negara akhirnya mengalami perubahan fundamental pascakrisis ekonomi 1997-1998 dan jatuhnya rezim Orde Baru. Format APBN disusun berdasarkan standar internasional Government Finance Statistic (GFS), di mana pinjaman bukan diklasifikasikan sebagai penerimaan negara melainkan sumber pembiayaan.
Pada masa itu juga lahir paket undang-undang pengelolaan keuangan negara yang menggantikan ICW warisan Belanda, di antaranya UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
APBN pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) juga tak luput mengalami banyak gejolak. Salah satunya pandemi COVID-19 yang masuk ke Indonesia pada awal 2020 lalu yang menjadi hantaman keras bagi keuangan negara.
Pada periode krisis itu, APBN perlu hadir untuk memberikan perlindungan kesehatan serta kebutuhan hidup rakyat.
Di bawah kendali Sri Mulyani, anggaran negara menyediakan alokasi khusus untuk COVID-19 yang mulanya sebesar Rp52,4 triliun pada 2020, kemudian meningkat 81,3 persen menjadi Rp188 triliun pada tahun berikutnya. Anggaran COVID-19 baru ditekan pada 2022 setelah kondisi mulai pulih dan dihilangkan pada 2023.
Sementara itu, anggaran perlindungan sosial (perlinsos) yang digunakan untuk memberikan insentif dan subsidi naik signifikan pada masa pandemi. Pada 2019, anggaran perlinsos digelontorkan sebesar Rp308,4 triliun. Lalu, naik 61,5 persen pada 2020 menjadi Rp498 triliun. Anggaran perlinsos pada tahun berikutnya terus bertahan di atas Rp400 triliun, hingga terakhir pemerintah menganggarkan sebesar Rp469,8 triliun pada APBN 2024.
Selain pandemi, perekonomian juga dihadapkan dengan berbagai guncangan lainnya, seperti konflik geopolitik yang berdampak pada pasokan dan harga energi-pangan, perubahan iklim, serta kebijakan moneter global.
Berbagai krisis yang muncul membuat banyak negara mengalami perlambatan ekonomi, tak terkecuali Indonesia yang pertumbuhan ekonominya pernah terjerembap hingga minus 2,07 persen (year-on-year/yoy) pada 2020.
Untuk memulihkan perekonomian, Pemerintah menyusun berbagai reformasi ekonomi, misalnya, memberikan stimulus APBN untuk meningkatkan daya beli masyarakat. APBN sebagai instrumen fiskal juga bekerja sama dengan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mengendalikan inflasi agar kinerja konsumsi rumah tangga dapat terjaga.
Fiskal negara juga diperankan sebagai katalisator transformasi ekonomi, terutama mengenai pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM). Pembangunan infrastruktur ditujukan untuk menyokong pergerakan ekonomi yang diharapkan dapat mencapai pemerataan. Sementara pembangunan SDM diwujudkan melalui pendidikan, kesehatan, dan perlinsos.
Di samping itu, untuk makin memperkuat fundamental perekonomian nasional, pemerintahan Jokowi berupaya melakukan reformasi struktural yang diwujudkan dengan kelahiran sejumlah UU di bidang fiskal, di antaranya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Dengan berbagai respons fiskal terhadap gejolak ekonomi itu, Indonesia mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, tepatnya 5,05 persen pada 2023, di tengah melemahnya perekonomian global. Dengan pencapaian itu pun, defisit fiskal tetap terjaga, di mana APBN mencetak defisit 1,65 persen pada tahun yang sama.
Sri Mulyani, dalam pertemuannya dengan Menteri Keuangan Australia Jim Chalmers, berbangga mengatakan APBN mampu menjaga perekonomian sekaligus melanjutkan agenda pembangunan Indonesia tanpa harus mengorbankan kesehatan dan kredibilitasnya.
APBN kini sedang diuji di tengah fase transisi pemerintahan. Transisi terakhir kali Indonesia mengalami hampir 10 tahun silam, digunakan APBN Perubahan untuk menyikapi pergantian pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ke Jokowi. Pemerintahan SBY hanya mencantumkan anggaran untuk fungsi-fungsi dasar pemerintahan (baseline) saat menyusun APBN 2015. Hal itu dilakukan guna memberikan ruang fiskal untuk pemerintahan berikutnya, yang kemudian disempurnakan oleh Jokowi dengan program-program yang ia janjikan.
Pemerintah perlu mempersiapkan APBN untuk tahun depan, yang praktiknya bakal dijalankan oleh pemerintahan selanjutnya. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, saat dihubungi ANTARA mengingatkan bahwa APBN pada masa transisi harus dilakukan pemantauan dan evaluasi. Dari sisi penerimaan negara, misalnya, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) perlu terus dioptimalkan agar penerimaan tak bergantung dengan pajak dan cukai. Sementara dari sisi pengeluaran, ia menggarisbawahi pentingnya alokasi anggaran yang ditujukan pada program-program prioritas produktif serta memiliki efek berganda (multiplier effect) lebih besar. Terlebih ke depan, perekonomian diperkirakan masih sarat tantangan. Oleh karena itu, APBN harus disiapkan agar dapat tangguh menahan guncangan perekonomian sehingga dapat hadir untuk melindungi rakyat.