Direktur Penerimaan Bukan Pajak Kementerian/Lembaga Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Wawan Sunarjo mengatakan, potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pemanfaatan pasir laut mencapai Rp2,5 triliun per 50 juta meter kubik (m3).
Meskipun begitu, ia menegaskan bahwa angka tersebut masih berupa hitungan kasar dan asumsi semata, karena hingga kini pengimplementasian ekspor pasir laut masih dikaji. “Berapa sih sebetulnya (potensi PNBP-nya) ya? Kami pun gak berani ngomong,” ucap Wawan Sunarjo di Serang, Banten, Kamis.
Ia pun menjelaskan, angka tersebut didapatkan dari asumsi dan hitungan kasar jika terdapat 50 juta m3 pasir laut yang diekstraksi. Dari jumlah tersebut, dimisalkan hanya 27,5 juta m3 pasir yang dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) sebesar Rp93 ribu dan tarif sebesar 30 persen, maka PNBP yang terkumpul bisa mencapai Rp767,25 miliar.
Sementara sisanya diekspor sebanyak 22,5 juta m3 pasir laut dengan HPP senilai Rp228 ribu dan tarif 35 persen, sehingga dapat menghasilkan PNBP sebesar Rp1,79 triliun. Maka, total PNBP dari 50 juta m3 pasir laut tersebut mencapai Rp2,56 triliun.
Menurut Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut Dalam Perhitungan Tarif Atas Jenis PNBP, harga patokan untuk pasir laut ekspor sebesar Rp186 ribu.
Dengan demikian, maka asumsi nilai potensi PNBP yang bisa didapatkan dari pemanfaatan pasir laut menurut keputusan menteri tersebut menjadi Rp2,23 miliar.
Mengingat peraturan mengenai ekspor pasir laut yang masih baru, Wawan pun menyampaikan bahwa belum ada target penerimaan PNBP dari pemanfaatan pasir laut pada tahun depan. “Pasir laut itu baru ada PP (Peraturan Pemerintah)-nya, sehingga di 2025 belum ada targetnya,” ujarnya.
Ekspor pasir laut sebelumnya diberhentikan, tapi kini kembali dibuka melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Selain peraturan yang masih baru, tantangan lain dalam mengekspor pasir laut adalah diperlukannya kajian dan penelitian mendalam mengenai kandungan pasir yang diekspor. Hal tersebut dikarenakan pemerintah hanya memperbolehkan pasir yang menjadi sedimen laut untuk diekspor.
Wawan mengatakan bahwa penelitian tersebut dibutuhkan agar produk yang diekspor benar-benar sudah dipastikan hanya berupa sedimen pasir tanpa mengandung mineral berharga, langka, atau yang dilarang untuk diekspor. Ia menyatakan bahwa kemungkinan besar akan dibentuk tim khusus yang terdiri atas para pakar dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, maupun Kemenkeu untuk melakukan kajian mengenai ekspor pasir laut tersebut. “Jadi, memang tidak serta merta punya konsesi, lalu angkut (pasirnya), (kemudian) diekspor — tidak. Pasti ada tim penilaiannya,” imbuhnya.