Kondisi perekonomian Indonesia sampai saat ini masih baik dan stabil, tetapi harus mulai meningkatkan kewaspadaan. Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Teguh Dartanto memberikan masukan untuk pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk menyiapkan langkah-langkah strategis guna merespons sejumlah tantangan ekonomi yang akan dihadapi.
“Kondisi perekonomian Indonesia sampai saat ini masih baik dan stabil, tetapi harus mulai meningkatkan kewaspadaan. Perlu langkah-langkah strategis untuk merespon penurunan harga (deflasi) selama 5 bulan berturut, penurunan sekitar 9,5 juta orang kelas menengah, terjadinya PHK, dan ditambahkan kondisi ketidakpastian di luar negeri. Waspada lebih baik daripada terlena,” ujar Teguh yang juga Dekan FEB UI, di Depok, Jawa Barat, Selasa.
Sebelumnya, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian pada Kabinet Indonesia Maju Airlangga Hartarto mengungkapkan kondisi ekonomi Indonesia terjaga solid.
Inflasi terbilang rendah dan stabil, namun volatile food diturunkan ke level rendah. Kondisi pasar keuangan Indonesia pun relatif terjaga.
Nilai tukar rupiah relatif lebih baik dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia lainnya yakni -1,05 persen year to date (ytd).
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga bertumbuh 3,94 persen ytd, bahkan mencapai all-time high pada level 7.905,39 pada 19 September 2024 lalu. Rating investasi Indonesia pun positif.
Rating and Investment Information, Inc. (R&I) mengafirmasi Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia pada peringkat BBB+, dua tingkat di atas investment grade dengan outlook positif. Di sisi lain, sejumlah tantangan dihadapi pemerintah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, deflasi Indonesia sebesar 0,12 persen pada September 2024.
Deflasi ini menjadi yang kelima berturut-turut sepanjang tahun berjalan dan menjadi yang terparah dalam lima tahun terakhir Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Hal itu dinilai sebagai indikator pendapatan atau uang di masyarakat semakin sedikit atau pendapatannya menurun.
Salah satu pendorongnya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah daerah. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sekitar 53.993 tenaga kerja di-PHK per Oktober 2024.
PHK tersebut sebagian besar terjadi di industri manufaktur dengan 3 provinsi mencatatkan angka terbesar yaitu Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta.
Jumlah penduduk kelas menengah yang selalu dibanggakan sebagai salah satu kemajuan ekonomi pun menurun.
BPS mencatat persentase penduduk kelas menengah berdasarkan pengeluaran telah menurun dari 21,4 persen pada 2019 menjadi 17,1 persen pada 2024.
Selain itu, konflik geopolitik di Eropa antara Rusia-Ukraina masih menjadi tantangan bagi perekonomian global. Hal itu diperparah dengan perang di kawasan Timur Tengah yaitu masalah Israel-Palestina yang kian melebar ke negara-negara di sekitarnya.
Teguh menjelaskan, berbagai tantangan tersebut harus segera diantisipasi dari sekarang. Harapannya antisipasi yang dilakukan oleh pemerintah baru bisa menciptakan rebound pertumbuhan ekonomi pada 2025.
“Kebijakan jangka pendek bisa dengan penundaan implementasi PPN 12 persen serta perluasan bantuan sosial untuk kelompok kelas menengah yang terkena PHK. Setelah itu, jangka panjang, Pemerintahan Prabowo-Gibran harus fokus pada penciptaan lapangan pekerjaan di sektor formal,” kata Teguh pula.
Selain itu, kata dia, dana bantuan sosial sampai saat ini masih dibutuhkan bukan hanya bagi kelompok ekonomi bawah. Namun bantuan sosial diperlukan juga bagi kelas menengah yang terkena PHK agar mereka tidak jatuh miskin.
Dalam konteks saat ini, penyaluran bantuan sosial nontunai dan melalui by name dan by address adalah salah satu solusi yang baik agar tidak terjadi kebocoran.
Bisa juga penyaluran bantuan sosial dilakukan dengan ditawarkan seperti melalui skema on demand application. Di mana kelompok kelas menengah dapat mendaftarkan diri untuk mendapatkan bantuan sosial ketika mereka terkena PHK.
Penulis: Feru Lantara
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024