Gempa berkekuatan 7,7 terjadi di Myanmar pada Jumat (28/3) dan menyebabkan kerusakan yang parah. Episentrum gempa berada di regional Sagaing, dekat dengan Mandalay. Gempa terjadi dangkal, hanya 10 kilometer di bawah permukaan, pada sesar Sagaing yang merupakan sesar strike-slip. Dampak gempa juga dirasakan hingga ke negara tetangga seperti Bangkok, Thailand, dan Yunan, Tiongkok.
Menurut laporan AFP, junta militer melaporkan bahwa korban jiwa akibat gempa di Myanmar mencapai 1.644 orang meninggal, lebih dari 3.400 orang terluka, dan 139 orang masih hilang. Ini merupakan gempa terbesar dan paling mematikan sejak Myanmar merdeka pada 1948.
Penjelasan dari seorang profesor dan pakar gempa bumi di University College London, Joanna Faure Walker, menyebutkan bahwa Myanmar terletak di perbatasan dua lempeng tektonik dan memiliki aktivitas seismik yang tinggi. Meskipun jarang terjadi gempa besar di wilayah Sagaing, peristiwa ini menandai kejadian signifikan.
Faktor kedalaman dangkal gempa, kurang dari 70 kilometer dari permukaan Bumi, membuat kerusakan menjadi lebih parah. Efek guncangan tidak hilang saat mencapai permukaan, sehingga bangunan menerima tekanan penuh dari gempa tersebut. Prediksi dari USGS menyebutkan bahwa korban jiwa dapat mencapai 10 ribu orang, dengan potensi kerugian ekonomi hingga 7 persen dari PDB Myanmar.
Gempa besar yang jarang terjadi di wilayah Sagaing menunjukkan bahwa infrastruktur di sana mungkin belum siap menghadapi guncangan besar. Dengan demikian, risiko kerusakan yang lebih fatal masih ada. Kejadian tersebut juga memicu perhatian terhadap kesiapan Myanmar dalam menghadapi bencana alam secara menyeluruh, mengingat sejarah gempa yang pernah melanda negara tersebut.