Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengungkapkan bahwa peningkatan suhu udara berdampak pada meningkatnya hujan ekstrem. Menurutnya, kejadian hujan ekstrem semakin meningkat baik dari segi intensitas, frekuensi, maupun durasinya. Hal ini dipengaruhi oleh peningkatan suhu permukaan yang korrelatif dengan kenaikan konsentrasi gas rumah kaca. Dwikorita menjelaskan bahwa adanya hubungan sebab akibat antara peningkatan emisi gas rumah kaca, suhu udara, dan kejadian ekstrem.
Dia juga menyatakan bahwa meningkatnya suhu udara mempercepat siklus hidrologi, sehingga periode cuaca ekstrem basah akan menjadi lebih basah, dan sebaliknya untuk cuaca ekstrem kering. Dalam paparannya, Dwikorita menunjukkan peningkatan suhu di wilayah Jakarta sejak tahun 1972. Suhu rata-rata di Jakarta menunjukkan kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun, yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca seperti karbondioksida dan Metan.
Peningkatan suhu udara juga berdampak pada pembentukan badai. Dwikorita menjelaskan bahwa peningkatan gas rumah kaca menyebabkan suhu udara meningkat, yang kemudian meningkatkan suhu permukaan air laut. Hal ini memicu terjadinya sirkulasi siklonik yang kemudian berkembang menjadi badai tropis atau siklon tropis. Meskipun Indonesia seharusnya tidak berada di jalur badai tropis, namun adanya anomali seperti tumbuhnya badai tropis di dalam zona tropis pada tahun 2021 menjadi perhatian serius.
Dengan demikian, perubahan iklim yang dipengaruhi oleh peningkatan suhu udara dan konsentrasi gas rumah kaca harus diwaspadai dan dikendalikan untuk mengurangi dampak negatifnya. Implementasi strategi tata ruang dan mitigasi cuaca ekstrem menjadi hal yang penting untuk menghadapi tantangan cuaca ekstrem yang semakin meningkat.