Implementasi transisi energi dapat terganggu akibat gejolak ekonomi global yang sedang terjadi. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, bersama Perwakilan Khusus Inggris untuk Iklim, Rachel Kyte, berdiskusi mengenai kompleksitas perubahan iklim dan transisi energi yang terhambat oleh kondisi ekonomi yang melemah. Hal ini dapat memperlambat proses transisi energi dan memperpanjang penggunaan energi tak terbarukan seperti batu bara. Oleh karena itu, Sri Mulyani menekankan bahwa masalah ini harus segera ditangani.
Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp610,12 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk aksi iklim antara tahun 2016 hingga 2023. Realisasi pendanaan APBN untuk iklim rata-rata sebesar Rp76,3 triliun per tahun atau 3,2 persen dari APBN. Meskipun demikian, total pendanaan tersebut hanya mencakup 12,3 persen dari kebutuhan pembiayaan iklim hingga tahun 2030.
Pemerintah terus berupaya mengoptimalkan pembiayaan untuk iklim baik melalui sektor publik maupun swasta. Berbagai insentif pajak diberikan untuk sektor-sektor terkait iklim seperti pembangkit listrik terbarukan dan kendaraan listrik. Sedangkan dari sektor swasta, pemerintah mendorong pelaku usaha untuk mengurangi emisi karbon, menerapkan praktik berkelanjutan, dan berinovasi dalam teknologi ramah lingkungan.
Selain itu, pemerintah juga mengadopsi skema pembiayaan inovatif seperti green sukuk, SDG bonds, dan penerapan taksonomi keuangan berkelanjutan. Upaya untuk mempercepat transisi energi dan menghadapi dampak perubahan iklim juga dilakukan dengan mencampur pembiayaan antara publik dan swasta. Semua langkah tersebut merupakan bagian dari upaya keras pemerintah Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi global dan mendukung keberlanjutan lingkungan.