Gunung Toba erupsi dahsyat 74 ribu tahun lalu dan berdampak pada organisme hidup di seluruh dunia. Sebuah studi mengungkap betapa manusia dari berbagai belahan dunia berhasil bertahan dari bencana yang jauh lebih besar daripada letusan Gunung St. Helens. Letusan Gunung Toba menghasilkan kawah raksasa dengan panjang sekitar 1.000 lapangan sepak bola yang mengakibatkan hujan asam dan lapisan abu tebal. Meskipun populasi manusia di dekat Gunung Toba kemungkinan punah, dampak bagi penduduk dunia lain masih belum sepenuhnya diteliti.
Hipotesis bencana Toba mengatakan bahwa letusan Toba menyebabkan pendinginan global selama bertahun-tahun dan populasi manusia menurun drastis. Terdapat bukti genetik dalam genom manusia modern yang menunjukkan bottleneck genetik setelah periode tersebut. Namun, masih ada perdebatan apakah penurunan jumlah populasi manusia disebabkan oleh letusan Gunung Toba atau faktor lain.
Sebagian besar situs arkeologi menunjukkan ketahanan manusia terhadap letusan super Toba. Penelitian mencatat bahwa di beberapa wilayah, seperti di Afrika Selatan, manusia tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang pesat setelah letusan. Manusia di wilayah Afrika Selatan dan Ethiopia menghadapi perubahan lingkungan lokal dengan fleksibilitas perilaku dan adaptasi teknologi baru, seperti busur dan panah.
Arkeolog menemukan bukti serupa di berbagai situs di Indonesia, India, dan China yang menunjukkan bahwa manusia mampu bertahan hidup dan tetap produktif setelah letusan Toba. Hal ini menunjukkan bahwa letusan Gunung Toba mungkin bukan penyebab utama penurunan populasi manusia purba. Meskipun Toba tidak secara langsung membantu ilmuwan memahami penurunan drastis populasi manusia, letusan tersebut memberikan wawasan penting tentang bagaimana manusia beradaptasi dengan peristiwa katastropik di masa lalu.