Saat ini, Jepang masih mengalami keterlambatan dalam adopsi teknologi digital meskipun citra futuristiknya. Serangan siber yang terjadi di negara tersebut telah mengganggu kehidupan sehari-hari dan keamanan nasional. Badan Kepolisian Nasional Jepang mengungkapkan bahwa kelompok peretas China, MirrorFace, telah menargetkan badan-badan pemerintah dan perusahaan sejak 2019.
Serangan siber ini, yang bertujuan untuk mencuri data terkait keamanan dan teknologi canggih, telah mencapai 210 entitas di Jepang. Berbagai serangan yang terjadi seperti penundaan penerbangan Japan Airlines dan penghentian operasi di pelabuhan terbesar negara itu memberikan dampak yang signifikan.
Masih banyak institusi di Jepang yang menggunakan metode komunikasi kuno seperti mesin faks, bahkan dalam survei tahun 2023, 40 persen warga Jepang masih menggunakan teknologi tersebut. Pemerintah Jepang pun baru-baru ini menghapus penggunaan disket dalam pengiriman dokumen, 14 tahun setelah disket terakhir diproduksi.
Kelemahan dalam digitalisasi Jepang juga mencuat selama pandemi COVID-19. Hanya sebagian kecil prosedur administratif yang dapat diselesaikan secara online, menyebabkan masalah bagi pekerja jarak jauh. Persyaratan penggunaan “hanko” atau stempel pribadi juga masih menjadi hambatan dalam digitalisasi.
Meskipun adanya upaya modernisasi, budaya tradisional yang cenderung stabil, dan populasi yang semakin tua serta kurang antusias terhadap teknologi, menjadi faktor-faktor penunda dalam transformasi digital Jepang. Perusahaan, terutama usaha kecil dan menengah, juga masih lambat dalam mengadopsi teknologi digital.
Keterlambatan dalam digitalisasi ini menimbulkan kerentanan lebih besar terhadap serangan siber, dan menunjukkan bahwa Jepang perlu lebih giat dalam memperbarui infrastruktur teknologinya agar tidak tertinggal jauh dari negara maju lainnya.