Berita terkini, update prabowo subianto yang humanis, berani dan tegas

Kepemimpinan Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Harus Nasution

Kepemimpinan Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Harus Nasution

Prabowo Subianto, dalam bukunya “Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto,” menceritakan pengalamannya saat pertama kali bertemu dengan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. Pertemuan itu terjadi ketika Subianto masih menjadi taruna di AKABRI di Magelang. Nasution secara periodik memberikan ceramah di Magelang dan merupakan sahabat dekat keluarga Brigadir Jenderal TNI dr. H. Sajiman, Kepala RST Magelang.

Subianto mulai mengenal Nasution dan beliau selalu berbicara dengan para taruna. Melalui ceramah-ceramah itu, mereka menjadi lebih mengenal perjuangan Nasution sebagai salah satu pendiri TNI, termasuk sebagai Panglima Komando Jawa di bawah Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Nasution telah berhasil memengaruhi TNI sampai saat ini melalui kebijakan dan pemikirannya. Salah satunya adalah Surat Keputusan untuk pembentukan Korps Baret Merah, yang pada saat itu dipimpin oleh Nasution sebagai KASAD. Subianto merasa mendapat kesempatan yang luar biasa karena bisa berdialog langsung dengan tokoh angkatan ’45, tokoh kunci dalam perang kemerdekaan Indonesia.

Dari sosok Nasution, Subianto belajar bahwa seorang jenderal harus benar-benar menguasai profesinya, ahli, pintar, dan ber-IQ tinggi. Selain itu, Nasution juga dikenal sebagai sosok yang bersih, jujur, bersahaja, dan tidak pernah korupsi. Subianto sangat menghormati Nasution karena sikap dan budi pekertinya.

Meskipun Nasution tidak lagi menjabat, beliau terus berkarya dan menulis buku yang sangat berguna untuk generasi muda. Subianto percaya bahwa buku Nasution harus menjadi bacaan wajib bagi semua taruna Akademi Militer, Universitas Pertahanan, dan semua Lembaga Pendidikan TNI.

Subianto juga menceritakan bagaimana ia tetap merawat hubungan baik dengan Nasution, meskipun pada waktu itu Nasution diperlakukan seolah-olah sebagai paria oleh rezim Orde Baru. Subianto juga menjawab tuduhan bahwa ia tidak loyal pada Presiden Soeharto karena memelihara kontak dengan kelompok oposisi seperti Nasution.

Subianto menegaskan bahwa memelihara silaturahmi dengan Nasution dan keluarganya tidak berarti ia ikut garis politik beliau. Subianto juga tetap memelihara silaturahmi dengan tokoh-tokoh lainnya yang dianggap sebagai oposisi pada masa itu. Ia percaya bahwa orang-orang yang dikucilkan harus tetap dijaga silaturahmi kemanusiaannya.

Subianto juga menceritakan bagaimana ia sangat terharu saat Nasution sakit, dan Nasution bahkan bertanya tentang keadaannya. Namun, pada saat Nasution sakit lagi, Subianto sedang berada di Libya dan kesulitan untuk kembali ke Tanah Air. Ketika Subianto akhirnya kembali, Nasution telah wafat. Subianto merasa kehilangan sosok guru, panglima, dan pemimpin yang pantas diteladani.

Source link