Pada sebuah malam yang dingin di desa Wonokerto, Sekapura, Kabupaten Probolinggo, di lereng Gunung Bromo, pepohonan cemara menjulang tinggi mencatat sebuah peristiwa budaya yang tak biasa. Suasana malam yang menusuk hingga 12 derajat Celsius menyambut kedatangan para penggemar musik dari berbagai kalangan di Amphitheatre Jhiwa Jawa pada Sabtu, 27 Juli 2025.
Pada malam itu, penonton bersiap untuk menyaksikan penampilan sebuah trio jazz kontemporer dari Prancis, Rouge, yang terdiri dari Madeleine Cazenave, Sylvain Didou, dan Boris Louvet. Rouge dikenal dengan pendekatan meditatif dalam musik jazz mereka di Prancis, namun malam itu mereka mampu menyesuaikan diri dengan lanskap Tengger yang hening dan menghadirkan karya musik yang mengguncang hati penonton.
Tak ada kata-kata yang banyak diucapkan, tak ada basa-basi. Musik Rouge mulai memenuhi ruang dengan nada-nada lembut, meresapi napas alam sekitar, dan membawa penonton masuk ke dalam perjalanan musik yang penuh empati. Para penonton, dari anak-anak hingga lanjut usia, duduk dengan khusyuk mendengarkan setiap nada yang dihasilkan oleh trio musisi Prancis tersebut.
Jazz Gunung sebagai festival musik yang sudah dikenal oleh banyak orang, tak hanya menyediakan panggung untuk musik jazz, tetapi juga memberikan tempat bagi pertunjukan musik yang bersinergi dengan alam, berlandaskan nilai-nilai spiritual. Rouge memberikan sentuhan keintiman dalam acara festival musik yang sudah berumur 17 tahun tersebut.
Penampilan Rouge di Jazz Gunung tidak hanya sebagai bagian dari tur budaya merayakan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Prancis, tetapi juga menjadi perayaan budaya yang tidak terlupakan. Mereka belajar tentang ruang, bagaimana masyarakat Tengger merasakan musik, dan bagaimana alam menjadi bagian penting dalam setiap harmoni yang diciptakan.
Generasi dari yang muda hingga lanjut usia terpukau oleh penampilan Rouge. Musik jazz sebagai jembatan budaya mampu menyatukan semua orang dalam sebuah ruang bersama, di mana musik bukanlah pemisah, melainkan penyatuan. Suasana hening panjang tercipta setelah lagu terakhir selesai dimainkan, menunjukkan bahwa musik Rouge bukan hanya sekadar alunan musik, tetapi juga perjalanan spiritual yang dalam bagi siapa saja yang mendengarkannya.